laboratorium ide, berbagi, menginspirasi..

Silaturahmi Itu Sesederhana Menanyakan Kabar Diakhiri Simbol :) Kreatifitas Terbaik Apa Jadinya Hidup Tanpa Tukang Listrik!! Restorasi Kereta dan Tingkat Kebudayaan Kita Tips: Bagaimana Memiliki Kantor Sendiri

Yuniva - Impian Terbesarku adalah Membuat Rumah Sakit Jadi Sepi



Beberapa waktu yang lalu, labs dapat satu surel lagi dari mahasiswi Undip yang ingin berbagi cerita.. kita simak siapa dia dan pandangan unik apa yang akan ia bagi di labs kali ini..

                                                  ***

Siapa si Yuniva?

Kalau si empunya ide mydealism.labs minta aku buat cerita diriku apa adanya, aku bisa saja mulai sejak aku dilahirkan di rawa-rawa Kalimantan Tengah, tapi sepertinya itu terlalu jauh. Yuniva itu sosok gadis yang wajar. Wajar dalam bertutur kata, bersosialisasi bahkan bercanda dengan dosen. Aku hidup dalam keluarga sederhana di tengah Provinsi Istimewa, tepatnya di Godean. Sejak kecil aku dikenalkan dekat dengan sebuah hal hanif, bernama Islam. Semangat juang dalam hal inilah membawaku menjadi seperti sekarang. Tiga tahun terakhir, Allah menghadirkanku di “kota seribu industri” (sebutku), Semarang. Kata teman-teman, sahabat dan kolega yang lain, aku orangnya gampang membaur, tapi aku berharap tidak sampai melebur. Itulah mengapa dengan siapa pun, aku mudah menebar sedekah berupa senyuman. Atraktif? Bukan kata pas untukku. Cukup aktif saja, lebih tepatnya “mencoba” untuk meng-aktif-kan segala kekuatan kehidupan dalam tubuhku.

Di umur 20 ini, aku sedang dititipi amanah besar. Organisasi yang sudah aku sebut mereka keluarga, tahun ini mempercayakan aku sebagai nahkodanya. Sebutan Pemimpin Umum dinobatkan padaku, tepatnya akhir tahun 2012 oleh Lembaga Pers Mahasiswa Publica Health Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Lingkaran itulah yang menuntutku aktif bergelut dengan dunia kelembagaan, mulai dari keuangan, kaderisasi, keredaksian, public relation dengan media massa dan tentunya seni dalam menghimpun kekuatan bersama dengan caraku. Selain itu, aku telah disibukkan dengan urusan rumah tangga dalam wisma yang sejak tahun pertama aku tinggali. Di sana aku banyak belajar mengenai pengelolaan individu dari 3 program studi yang berbeda, yaitu Keperawatan, Psikologi dan tentunya Kesehatan Masyarakat. Bahkan tanpa aku pernah berharap sebelumnya, sekarang aku ikut menjadi pengurus di PPMI DK Semarang, sebuah perhimpunan pers mahasiswa Indonesia tingkat Kota Semarang sebagai staf divisi penelitian dan pengembangan. Terlebih tahun ini, aku memasuki semester awal dalam Peminatan Epidemiologi dengan seabreg mata kuliah yang menantang, pasti akan banyak mencuri perhatianku.

Yuniva dan Kun Geia di acara bedah buku The Lost Java
di Fakultas Psikologi Undip

Banyak faktor yang hingga detik ini menjadikan aku berdiri kuat facing masalah dan tantangan hidup. Keluarga biologis, sahabat, lingkaran tarbawi, keluarga besar wisma Samara, dan tentunya segala cerita hidup Rasulullah SAW dalam shiroh serta semua nasehat dan surat cinta dari Allah SWT dalam kitab suci. Dari semua yang aku miliki itu, yang paling banyak menyumbang the big encourage  adalah lingkaran tarbawi. Ada yang tahu? Jika boleh menebak, pasti masih asing di telinga publik. Lingkaran ini tidak mungkin aku ceritakan secara gamblang dan konkret. Yang jelas, darinya aku mengerti bagaimana proses ukhuwah dilalui untuk mencapai singgasana berupa kasih sayang di antara sesama. Darinya aku mengerti pentingnya menasihati dalam kebaikan, mengajarkan amalan ma’ruf dan bersama-sama menjauh dari yang munkar. Indah sekali. Menghadapi gelombang ujian dengan sabar, tegar dan tawakal, walaupun sedang dalam lautan kesedihan atau di saat bahagia, lingkaran itu pasti ada. Dan aku nyaman dengan segala konsekuensi logis yang ditawarkan untukku. Menyunting gubahan Sherina, karena kita satu saudara, penuh canda dan tawa. Karena kita saling menjaga dalam suka dan duka. Karena kita belahan jiwa, tempat berbagi rasa. Karena kita saling setia, begitu selamanya.


Bersama tim LPM Publica Health 2012 Hunting foto jurnalistik bertema
“Akulturasi Budaya jawa dan tiongkok” di Pecinan, Semarang 

Kesehatan Masyarakat telah mencuri perhatianku sejak SMA. Segala tentangnya terbayang-bayang di pikiran. Bagaimana perannya dalam masyarakat, bagaimana gambaran prospek kerja, apa pentingnya untuk negeri bahkan dunia? Awalnya aku merasa tersesat setelah masa kuliah pertama kujalani. Ibarat mendaki gunung, aku tak kenal dengan rerumputannya, aku tak mengerti bentuk bunganya. Bayangkan saja, di Kesehatan Masyarakat aku diasupi materi sosiologi, psikologi, komunikasi yang notabene itu milik seorang ber-genre sosial, bukan exact. Inilah mengapa kusebut ini ilmu gado-gado. This temptation is surrounding me. Bukan sekedar berserah diri tanpa usaha. Aku mulai membuka mata, melihat kurikulum keseluruhan di buku perak. Hatiku berkata, ini baru awal pemanasan.

Sang dosen berhasil menunjukkan jalan, kuikuti langkahnya. Lama-kelamaan aku paham dan jatuh cinta dengan sebenar-benarnya jatuh cinta (bukan lebay, ya). Menikmati sesuatu yang awalnya kita impikan menjadi indescribable deh. Semakin naik semester, semakin aku bersyukur diceburkan di dunia kesehatan. Inilah kondisi kesehatan di Indonesia. Awareness yang minim, bahkan dari masyarakatnya sendiri. Minor priority di kalangan komersiil, menjadikan kesehatan tidak banyak dilirik menjadi hal yang bernilai tinggi menghasilkan uang, seperti ekonomi atau politik. Undang-undang yang menempatkan kesehatan sebagai bahasan hanya milik insan kesehatan, tidak semua bagian pemerintah menaruh perhatian penuh, seperti pembahasan undang-undang bidang seberang. Padahal kesehatan adalah investasi utama manusia. WHO (1948) mendefinisikan sehat adalah kondisi fisik, mental, dan sosial yang sempurna dan bukan sekadar tidak sakit atau tidak cacat. Anggapan baru muncul bahwa ilmu kedokteran modern lebih mendalami hal penyakit dan mengabaikan hal sehat atau kesehatan. Sehingga masyarakat lebih tergantung obat dan kurang memperhatikan bagaimana hidup tetap sehat. Rumah Sakit / Poliklinik ramai tetapi tempat pelayanan yang mengajarkan hidup sehat dan mencegah penyakit sepi tak banyak peminat. Selama manusia dalam kondisi sehat, ada saja kebutuhan yang dianggap lebih penting sehingga lupa keadaan sehatnya.

Ilmu kesehatan masyarakat memandang investasi sehat mulai dari upaya promotif, pencegahan (preventif), pengobatan (kuratif) dan rehabilitatif. Berangkat dari konsekuensi ini, kesehatan masyarakat didukung oleh berbagai peminatan diantaranya PKIP (Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku), AKK (Administrasi Kebijakan Kesehatan), Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu Anak, Ilmu Gizi masyarakat, Epidemiologi dan Penyakit Tropik, Entomologi, K3 (Keselamatan Kesehatan Kerja) dan Biostatistika. Inilah salah satu alasan aku bangga menjadi Insan Kesmas. Begitu banyak masalah kesehatan masyarakat yang harus segera diselesaikan bersama.

Pilihan itu tergantung dimana kita mau berkontribusi sebanyak-banyaknya, bukan terbalik. Kita menjadi besar bukan karena tempat kita yang besar, tapi bagaimana kita menjadikan tempat kita sekarang menjadi besar. Cinta pada sesuatu hal bukan masalah pada apakah sesuatu itu layak untuk dicintai, tapi bagaimana kita layak mencintainya. Jadi layakkanlah diri kita dengan sebenar-benarnya sebutan itu layak kita sandang. Penting untuk membuang kata terpaksa. Ikhlas, care dan mencoba menjadi yang berbeda menjadi urutan nomor wahid mencapai impian dan expectation yang kita gambarkan indah di benak. Yakin bahwa Allah mejadi saksi, semua kembali pada niat dan persepsi positif yang selalu kita coba bangkitkan.

Cita-cita menjadi cambuk yang selalu segar menyapa setiap pagi. Aku bermimpi menjadi Menteri Kesehatan RI, walaupun aku tak menyandang dokter, tapi aku berharap Allah berpihak pada insan jebolan kesehatan masyarakat ini. Aku juga sangat sangat ingin sekali berlabuh dan berkontribusi penuh di CDC WHO. Minimal menjadi duta WHO di Indonesia. Di CDC aku bisa mengoptimalkan kemampuan  jurnalistik dan ilmu ke-epidemiologi-an ku. Inilah bentuk hormatku pada almamater dan lembaga yang membesarkanku.

Rencana strategi yang sekarang aku rancang adalah menjadi profesional dalam dunia keprofesian jurnalistik. Belajar sedikit demi sedikit bagaimana mengolah isu dan membahasakan secara populer kepada masyarakat tentang keilmuan yang banyak dianggap ilmiah menyeramkan. Planning tahun 2014 bulan Juli menjadi SKM dengan peminatan Epidemiologi. Tahun 2016 menyandang predikat M.Kes dengan core Epitrop di UGM. Sederhana saja, intinya segala usaha ini akan berujung pada dunia epidemiologi dan kepenulisan.

“Masalah masyarakat apa yang dipilih untuk coba diselesaikan dengan caraku?” Tak jauh-jauh dari kesehatan masyarakat. Masalah utama adalah mindset masyarakat tentang sehat. Tempat yang paling melekat di bayangan setelah kata “sehat” adalah Rumah Sakit. Mengapa bukan Rumah Sehat? Inilah yang banyak menggelitik kaum mahasiswa kesehatan. Usaha preventif  bukan tidak mungkin menjadi barang komersiil yang menjanjikan di masa depan, layaknya sebuah rumah sakit. Impian terbesarku adalah membuat rumah sakit menjadi sepi. Keramaian berpindah di lapangan atau taman setiap pagi dan sore dengan olahraga dan hiruk pikuk geliat manusia dengan tubuh wal’afiat. Keramaian bermigrasi di laboratorium-laboratorium cek kesehatan atau di tempat gym. Begitu indahnya dunia jika hal ini terjadi. Nah lo, terus dokter ngapain dong? Tetap saja ada kerjaan lah, upaya kuratif adalah rangkaian dalam ilmu kesehatan masyarakat. Kuratif menjadi upaya pencegahan terjadi kecacatan fisik.

Dalam rumah sehat itu akan ada agenda meningkatkan derajat kesehatan manusia, mulai dari fisik, mental dan sosial. Jadi bicara kesehatan, tidak hanya melulu tentang anatomi tubuh, tapi juga bagaimana membangun kepercayaan diri dalam beraktivitas atau pandai membawa diri di lingkungan dengan status masyarakat yang dimiliki. Hal ini melingkupi masalah budaya, komunikasi, politik, ekonomi bahkan pertahanan negara. Kompleks bagai gulungan benang kusut. Itulah dunia kesehatan. Aku yakin seyakin-yakinnya, hal ini tidak lepas dari gandengan tangan semua sektor dalam negara. Sehat menjadi murah di mata manusia, padahal keberadaannya menjadi sangat mahal saat manusia sudah sampai di titik kesakitan fisik yang sesungguhnya. Apa susahnya membiasakan hidup sehat sebelum semuanya terjadi dengan konsekuensi terburuk “merenggut nyawa”.
"Impian terbesarku adalah membuat rumah sakit menjadi sepi. Keramaian berpindah di lapangan atau taman setiap pagi dan sore dengan olahraga dan hiruk pikuk geliat manusia dengan tubuh wal’afiat. Keramaian bermigrasi di laboratorium-laboratorium cek kesehatan atau di tempat gym"
Idealisme bukan termasuk golongan relatif. Satu unsur dalam idealisme membawa seseorang pada satu jalan utama yang memaksanya berpandangan tertentu, tujuannya pun jelas mengerucut. Idealisme bagiku adalah menjadi sebuah pedoman dan bukti konsistensi dalam bertindak, tentunya keberadaannya tak bisa mengalahkan 2 pedoman utama kaum muslim. Bagiku, semua idealisme itu baik, asalkan tidak keluar dari aturan. Setiap orang berhak memiliki atau tidak memiliki sebuah idealisme. Secara sederhana, idealisme akan menunjukkan bagaimana seseorang di mata manusia. Dari idealismenya, kita akan mengetahui siapakah tokoh yang dia idamkan. Apa buku bacaannya. Dengan siapa dia bergaul. Bagaimana dia memandang Pancasila sebagai dasar negara. Dan yang jelas, bagaimana dia berpendapat tentang sebuah sistem. Orang yang idealis, seharusnya prinsip hidupnya kuat. Inilah mengapa sebuah idealisme perlu untuk dimiliki agar orang mengerti bagaimana berhadapan dengan kita, tanpa kita harus menjelaskan pada mereka. Dengan prinsip yang kuat ini, tidak mudah seseorang menjadi latah dengan apa yang sedang trend terjadi di masyarakat. Tidak mudah untuk mengikuti style orang lain, susah menerima idealisme lain yang dianggap berbeda dengannya.

Aku termasuk yang masih mencari-cari idealisme mana yang pantas untuk aku pilih. Hingga sekarang, idealisme yang aku pakai ya idealisme islam. Ini idealisme sebutanku sendiri. Dialah sahabatku sejak lahir. Apapun yang dikatakannya, aku pasti percaya. Dengan ke-enam rukun imannya dan 5 kesempurnaan rukun islamnya. Dengan Islam aku dibuatnya mengerti mana yang buruk, mana yang baik dengan jelas. Perkara apapun dia lahab habis pembahasaannya, tinggal bagaimana aku berupaya keras mempelajari dan berkelana bertanya kebenarannya.

Yuniva Tri Lestari
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro


Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

 
© mydealism.labs
Balik ke Atas